Islam
dan Barat di era pasca perang dingin dan Globalisasi: Konflik atau damai?
Oleh: Sholihan ( di copy oleh muh nur)
Pendahuluan
Dalam sejarahnya yang panjang, yakni kurang lebih selama empat belas abad,
Islam memiliki sejarah yang panjang pula pertemuannya dengan Barat. Pertemuan
antara Islam dengan Barat yang telah berlangsung selama berabad-abad dan sampai
sekarang masih berlangsung itu diwarnai dengan rivalitas,[1] kerjasama dan juga
konflik.[2]
Seacara historis, peradaban Barat muncul lebih dahulu, baru kemudian disusul
oleh munculnya Islam. Dalam perjalanan sejarah berikutnya, perkembangan Islam
yang baru lahir lebih cepat, bahkan sampai dapat merontokkan Romawi dan Persi
yang telah berjaya sebelumnya. Setelah tujuh abad perkembangan Islam, Barat
tidak mau kalah. Runtuhnya kerajaan Islam Spanyol merupakan momentum dimulainya
babak rivalitas baru, yang kermudian disusul dengan era
imperialisme-kolonialisme dunia Barat atas Dunia Islam. Era
imperialisme-kolonialisme ini berjalan hampir empat atau lima abad, dan ini
merupakan simbol kemenangan Barat atas Islam sebagai komunitas sosial
politik.[3] Karena itulah, sebagaimana dinyatakan Rahman, bagi banyak pengamat,
sejarah Islam di masa modern pada itinya adalah pengaruh Barat terhadap
masyarakat Islam.[4]
Memang semenjak pecahnya Perang Dunia II menjelang paroh kedua abad ke-20 Dunia
Islam mulai melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan Barat dan menjadi
negara-negara merdeka. Akan tetapi, dalam banyak hal Dunia Islam masih
tergantung kepada Barat. Dana pembangunan, peralatan militer, tenaga konsultan
dalam berbagai bidang, dan hasil industri berat, hampir semua negara Islam
masih tergantung pada Barat. Ketergantungan Dunia Islam pada khususnya dan
Dunia Ketiga pada umumnya kepada Barat ini tidak lain adalah
imperialisme-kolonialisme dalam bentuknya yang baru.[5] Dengan kata lain dapat
dinyatakan, meskipun Dunia Islam telah melepaskan diri dari
imperialisme-kolonialisme Barat dan menjadi negera-negera merdeka sudah kurang
lebih setengah abad, namun dalam kenyataannya Dunia Islam masih berada dalam
pengaruh dominasi Barat.
Meskipun realitas sekarang menunjukkan, bahwa Dunia Islam masih berada dalam
pengaruh dominasi Barat, namun bukan berarti Dunia Islam tidak punya kekuatan
sama sekali. Samuel P. Huntington misalnya, dalam tulisannya “Clash of
Civilizations?â€,[6] menilai Dunia Islam, bersama-sama dengan Konfusionisme,
mempunyai kekuatan cukup signifikan, dan semenjak berakhirnya Perang Dingin,
akan menjadi ancaman terbesar bagi dominasi Barat selama ini.
Hipotesis Huntington itu memang terkesan provokatif, sehingga menimbulkan
kontroversi dan polemik.[7] Alasan kulturalnya tidak begitu jelas, bagaimana
peradaban Islam dan Kunfusius dapat berkolusi dan kemudian berhadapan dengan
peradaban Barat. Kecuali alasan ekonomi dan perdagangan, nampaknya tidak
terdapat alasan yang signifikan yang menentukan kemungkinan kolusi antara
negara-negara yang berperadaban Islam dan negara-negara yang berperadaban
Konfusius. Akan tetapi ketika Huntington memandang peradaban Islam sebagai
ancaman bagi peradaban Barat, ini kemungkinan ada benarnya, setidak-tidaknya
ada kelompok-kelompok atau individu-individu pada dua peradaban ini yang
memandang keduanya saling mengancam. Terlalu banyak pandangan, dari yang
populer sampai yang akademis, yang disosialisasikan dalam buku-buku,
koran-koran, majalah-majalah, dan media elektronik, yang menunjukkan saling
ancam antar kedua peradaban ini. Sudah banyak karya jurnalistik dan akademik
Barat yang memberikan citra tentang Islam sebagai satu ancaman bagi Barat, dan
mencoba menggambarkan Islam sesuai dengan perspektif budaya dan peradaban Barat
sendiri.
Makalah ini akan mengkaji hubungan peradaban Barat dan Islam khususnya, dan
dengan peradaban-peradaban lain pada umumnya dalam era Pasca Perang Dingin dan
Globalisasi. Apakah memang harus saling mengancam sehingga menimbulkan benturan
peradaban yang lebih bernuansa konflik dan kekerasan, ataukah ada format hubungan
lain yang lebih bernuansa dialogis dan kedamaian? Namun sebelum sampai pada
persoalan pokok akan dibahas terlebih dahulu Era Pasca Perang Dingin dan
Globalisasi itu sendiri.
Era Pasca Perang Dingin dan
Globalisasi: Kecenderungan Umum
Perjalanan sejarah umat manusia nampaknya selalu diwarnai oleh konflik dan
peperangan. Dalam abad ke dua puluh yang baru berlalu saja, sejarah telah
mencatat tiga peristiwa peperangan besar, yakni Perang Dunia I (1914-1918),
Perang Dunia II (1939-1945), dan Perang Dingin (1950-1990). Yang disebut
terakhir, yakni Perang Dingin (Cold War) terjadi akibat terbentuknya tatanan
politik baru yang bersifat bipolar , yang memusat pada dua blok ideologi yang
bermusuhan, yaitu antara blok Barat yang kapitalis demokratis dengan blok Timur
yang komunis. Blok pertama dikuasai oleh negara adikuasa Amerika Serikat dan
Blok kedua dikuasai oleh negara adikuasa lainnya, Uni Sovyet. Kedua negara
adikuasa tersebut bersaing untuk memperoleh pengaruh di negara-negara Dunia
Ketiga atau Negara Berkembang.[8]
Dampak permusuhan kedua negara adikuasa tersebut dengan demikian juga terasa di
negara-negara Dunia Ketiga dan Non-Blok, termasuk Indonesia. Perang Korea
(1950-1953), Perang Vietnam (1957-1975), dan juga Perang Arab Israel (1967,
1973, 1982) adalah benar-benar merupakan perwujudan dari aktualisasi Perang
Dingin, yakni perang perebutan pengaruh antara kedua blok negara adikuasa,
Amerika Serikat dan Uni Sovyet.
Perang Dingin yang berlangsung dari sejak tahun 1950 itu berakhir pada
tahun1990, yang ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin, simbol keruntuhan
komunisme dan kemenangan kapitalisme.[9] Masa sesudah berakhirnya Perang Dingin
inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Era Pasca Perang Dingin, di mana
terjadi perubahan-perubahan besar baik dalam tatanan politik dunia maupun
tatanan ekonomi, masyarakat dan kebudayaan. Tatanan politik bergeser dari
bipolar ke multipolar, diikuti dengan pembentukan hubungan ekonomi baru yang
bersifat global. Liberalisasi perdagangan dan zona kerjasama regional seperti
tercermin dalam APEC (Asian Pacific Economic Cooperation), dan NAFTA (North
American Free Trade Agreement) serta organisasi regional lainnya, merupakan
kecenderungan baru yang menandai perjalanan menuju akhir abad ke-20 dan awal
abad ke-21. Lahirnya tatanan baru yang bersifat global dengan segala
kecenderungannya tersebut oleh para ahli dipandang sejajar dengan terjadinya
lompatan-lompatan perubahan masyarakat menuju ke pembentukan masyarakat Pasca
Industri dan Masyarakat Global (abad informasi).[10] Dengan demikian Era Pasca
Perang Dingin ini kemunculannnya dalam sejarah kurang lebih berbarengan dengan
Era Globalisasi.
Proses Globalisasi muncul akibat desakan-desakan arus perkembangan sejarah kemanusiaan
kontemporer di mana batas-batas konvensional-tradisional baik secara politik,
geografis, regional, maupun bahasa telah bergeser. Demikian pula batas-batas
tradisional seperti suku, ras, dan agama menjadi semakin transparan
ketidakkokohannya. Batas-batas atau sekat-sekat tradisional itu tetap masih
bertahan, namun muatan maknanya sudah bergeser dari pola makna yang lama ke
arah pola makna yang baru. Perubahan makna tersebut dimungkinkan lantaran
munculnya gelombang kesadaran baru yang diciptakan akal pikiran manusia dengan
apa yang oleh Tofler disebut sebagai “revolusi komunikasi†setelah manusia
melampaui dua tahapan revolusi sebelumnya, yakni “revolusi pertanian†dan
“revolusi industriâ€.[11]
Sebagai suatu konsep, globalisasi
merujuk pada pemampatan (compression) dunia dan intensifikasi kesadaran dunia
secara menyeluruh.[12] Globalisasi pada prinsipnya merujuk pada perkembangan
secara cepat dalam teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang
menjadikan dunia yang sangat jauh dengan mudah dapat dicapai.[13] Sebagai
contoh, jika suatu perkembangan terjadi di New York , maka perkembangan itu
langsung dapat disiarkan ke seluruh dunia. Salah satu contoh yang baik dari
proses globalisasi ini adalah kontroversi berkait dengan Salman Rushdi yang
dimulai pada akhir tahun 1980-an di Inggris karena penerbitan The Satanic
Verses. Dalam berapa jam, perkembangan yang terjadi di Inggris itu memunculkan
respon di Islamabad dan Bombay. Orang mati-matian memprotes buku itu. Berbagai
pernyataan pemerintah, obrolan di media, editorial, sikap siaga dan protes
merefleksikan hangatnya perdebatan itu. Dalam sejarah belum pernah terjadi
perkembangan dengan kecepatan dan cara semacam itu.[14]
Proses globalisasi saat ini juga ditandai oleh terjadinya percepatan pertukaran
informasi dan budaya serta oleh tingginya skala dan kompleksitas pertukaran
ini. Dengan difasilitasi oleh teknologi baru, kecepatannya yang luar biasa,
batasan serta volume pertukaran ini telah membangkitkan imajinasi orang pada
umumnya. Teknologi yang demikian mengesankan, dari electronic mail sampai
satelite dish, dan walaupun teknologi ini tidak dapat diterima oleh semua
orang, namun teknologi ini baik secara langsung maupun tidak ikut bertanggung
jawab terhadap pengaruh-pengaruh baru yang dialami oleh manusia. Teknologi
semacam ini mampu memisahkan budaya dari basis wilayahnya sehingga dengan
sendirinya menggetarkan gelombang udara hingga mencapai pihak yang menerimanya.
Apapun hasil akhirnya –homogenitas yang lebih besar atau heterogenitas
budaya-- dan ini yang banyak diperdebatkan, era globalisasi saat ini telah
mengakibatkan semakin banyaknya orang dibandingkan era sebelumnya yang terlibat
dalam lebih dari satu kebudayaan.[15]
Era Pasca Perang Dingin dan
Globalisasi: Benturan antara Peradaban Barat dan Islam?
Benturan antar peradaban dalam hampir satu dasa warsa terakhir ini menjadi
topik pembicaraan yang hangat, setidak-tidaknya di kalangan intelektual,
ilmuawan, dan pengamat, terutama pengamat politik dan kebudayaan global.
Hangatnya pembicaraan mengenai benturan antar peradaban mula-mula dipicu oleh
tulisan Huntington, “Clash of Civilizations?â€.[16] Karena Perang Dingin
telah berlalu dengan runtuhnya ideologi komunisme/sosialisme dan yang tinggal
kemudian hanyalah kekuatan raksasa tunggal ideologi kapitalisme Amerika Serikat
dan sekutunya, maka menurut Huntington, sumber fundamental dari konflik dalam
dunia baru, era Pasca Perang Dingin dan Globalisasi, pada dasarnya tidak lagi
ideologi atau ekonomi melainkan budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan
menjadi sumber konflik yang dominan. Negara bangsa tetap akan menjadi aktor
yang paling kuat dalam percaturan dunia, tetapi konflik politijk global yang
paling prinsipil akan terjadi antara bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok karena
perbedaan peradaban mereka. Pertentangan antar peradaban akan mendominasi
politik global. Garis-garis pemisah antara peradaban akan menjadi garis-garis
pertentangan di masa depan.[17]
Ada enam alasan pokok yang dikemukakan Huntington untuk mendukung hipotesisnya,
mengapa benturan peradaban akan menjadi sumber konflik utama di era Pasca
Perang Dingin. Pertama, adalah
kenyataan bahwa perbedaan antar peradaban tidak hanya riil, tapi juga mendasar.
Selama berabad-abad perbedaan antar peradaban telah menimbulkan konflik yang
paling keras dan paling lama. Kedua,
adalah kenyataan bahwa dunia kini sudah semakin menyempit sehingga interaksi
antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Hal ini selain
melahirkan rasa kesamaan juga mempertajam rasa perbedaan antar peradaban. Ketiga, adalah proses modernisasi
ekonomi dan perubahan sosial dunia yang telah membuat orang atau masyarakat
tercerabut dari identitas lokal dan memperlemah negara bangsa sebagai sumber
identitas mereka. Dalam hal ini agama muncul sebagai sumber identitas dan
pegangan, dan sering dalam bentuk gerakan “fundamentalisâ€. Keempat, adalah peranan Barat yang
begitu dominan. Dominasi Barat yang sekarang berada di puncak kekuatan menimbulkan
reaksi dunia non-Barat dengan munculnya gerakan dewesternisasi dan
indegenisasi. Kelima, adalah
kenyataan bahwa karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu, dan
karena itu kurang bisa kompromi, dibanding perbedaan politik dan ekonomi. Keenam, adalah kesadaran peradaban
bukanlah merupakan raison d’etre utama terbentuknya suatu regionalisme
politik atau ekonomi.[18]
Lebih lanjut Huntington mengemukakan, ada tujuh atau delapan peradaban yang
saling bersaing, yaitu peradaban Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu,
Ortodoks Slavia, Amerika Latin, dan mungkin juga Afrika. Karena Barat sekarang
berada pada puncak kekuatan yang luar biasa dalam hubungannya dengan
peradaban-peradaban lain, maka poros utama politik dunia yang akan datang
adalah konflik antara “Barat dan Selainnya†dan respons peradaban-peradaban
non-Barat atas kekuatan dan nilai-nilai Barat. Menurut Huntington, di antara
peradaban-peradaban non Barat yang berbenturan dengan Barat dalam tingkat yang
paling tinggi adalah kolusi peradaban Islam-Konfusius.
Hipotesis Huntington yang menyatakan bahwa benturan paling keras akan terjadi
antara peradaban Barat dengan kolusi peradaban Islam-Konfusius ini patut
dipertanyakan, karena alasan kulturalnya tidak begitu jelas. Kecuali alasan
ekonomi dan perdagangan, nampaknya tidak ada alasan kultural yang signifikan
yang menentukan kemungkinan kolusi antara negara-negara yang berperadaban Islam
dengan negara-negara yang berperadaban Konfusius.[19] Akan tetapi, ketika
Huntington memandang peradaban Islam sebagai peradaban yamg berbenturan paling
keras dengan peradaban barat, dan sekaligus merupakan ancaman terbesar bagi
peradaban Barat, ini kemungkinan ada benarnya. Hal ini antara lain disebabkan
oleh jangkauan universal budaya Barat yang Kristen dan Islam, serta kenyataan
bahwa Kristen dan Islam merupakan agama yang “strictâ€.[20] Di samping itu,
setidak-tidaknya ada kelompok-kelompok atau individu-individu pada dua
peradaban ini yang memandang keduanya berbenturan dan saling mengancam.
Banyak karya jurnalistik dan akademik Barat yang memberikan citra tentang Islam
sebagai ancaman bagi Barat, dan mencoba menggambarkan Islam sesuai dengan
perspektif budaya dan peradaban Barat sendiri. Sebagai contoh, selain tulisan
Huntington sendiri, tulisan Judith Miller dalam majalah Foreign Affairs, Musim
Semi 1993, yang berjudul “The Challenge of Radical Islam†sangat jelas
menunjukkan hal itu. Penafsiran dan penggambaran tentang Islam seperti itu di
kalangan intelektual, akademisi, jurnalis, atau politisi tertentu di dunia
Barat bukanlah hal baru; dan kecenderungannya semakin menguat ketika masyarakat
Muslim pada tingkat internasional tampak semakin bangkit hendak menyatakan
identitas diri mereka.[21]
Demikian juga di kalangan intelektual dunia Islam, terdapat pandangan yang
kurang lebih sama dengan hipotesis Huntington, yakni benturan antara peradaban
Barat dengan Islam. Jauh sebelum Huntington menulis artikelnya itu, tokoh-tokoh
intelektual Islam seperti Mariam Jamilah, Ali Shari’ati, Ismail al-Faruqi,
Syed Naquib al-Attas, Syed Hossein Nasr, Ziauddin Sardar, Akbar S. Ahmed, dan
Hassan Hanafi, dengan, tentu saja, latar belakang, kecenderungan pemikiran,
analisis, dan argumen yang berbeda-beda, telah menulis topik-topik terkait.
Hassan Hanafi misalnya, dengan penguasaannya terhadap sejarah peradaban Barat,
menggagas sebuah ilmu yang disebutnya “Oksidentalisme†sebagai lawan dari
“Orientalismeâ€. Dalam bukunya Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab, Hanafi
menegaskan tugas Oksidentalisme yang paling utama adalah menghapuskan doktrin
Eurosentrisme, yaitu dengan mengembalikan peradaban Barat ke dalam batas-batas
alamiahnya, menjelasakan proporsinya, asal-usulnya, kesesuaiannya dengan
situasi kesejarahan tertentu, jenis religiusitas dan karakteristik masyaraktnya
sehingga dapat dihadapkan pada peradaban non-Eropa, untuk memperlihatkan bahwa
terdapat banyak model peradaban dan banyak jalan menuju kemajuan.[22] Analisis
Hanafi terhadap peradaban Barat dari mulai munculnya hingga dewasa ini,
sebagaimana disebutkan Boullata, membawanya pada kesimpulan, bahwa peradaban
Barat dewasa ini berada dalam keadaan krisis, sementara peradaban Islam sedang
muncul untuk mengambil tempatnya yang sah dalam kepemimpinan dunia, apabila
diorientasikan secara tepat.[23]
Intelektual muslim lain yang banyak mencurahkan perhatiannya pada topik
benturan antara peradaban Islam dan Barat adalah Akbar S. Ahmed, Guru Besar
Antropologi di Universitas Cambridge, yang berasal dari Pakistan. Peradaban
Islam dan peradaban Barat oleh Ahmed dikonstruksi sebagai dua peradaban yang
mengalami benturan, dan dipaparkan dengan kerangka analisis pasaca-modernisme.
Ahmed hendak menunjukkan bahwa benturan antara peradaban Islam dan Barat
merupakan refleksi dari zaman pasca-modern. Zaman pasca-modern pada tingkat
sosiologis, menurut Ahmed, ditandai oleh sejumlah ciri pokok, di antaranya:
mempertanyakan, atau bahkan hilang kepercayaan pada proyek modernitas;
bersemangat plurarisme; dan menolak dunia sebagai totalitas yang universal.
Kalau pasca-modernisme sebagai suatu pemikiran di Barat menggugat pada proyek
modernitas, maka bagi Islam pasca-modernisme juga berarti menggugat proyek
modernisme Islam. Dengan demikian pasca-modernisme masyarakat muslim dapat
berarti perubahan atau pergeseran ke identitas etnis dan Islam sebagai lawan
dari identitas asing yang diimpor atau identitas Barat, dan ini adalah suatu
bentuk penolakan terhadap modernitas. Dari situlah zaman pasca-modern Muslim dimulai,
dan bagi Ahmed itu adalah kebangkitan Islam, yang oleh pengamat Barat sering
disebut sebagai “fundamentalisme Islamâ€.[24]
Dari situ kemudian Ahmed memaparkan
apa yang mirip ditulis Huntington sebagai benturan antara peradaban Islam dan
peradaban Barat. Islam dan Barat dipandang sebagai dua entitas peradaban yang
berbeda. Keduanya merupakan sistem kehidupan yang mempunyai standar dan
mekanisme hidup sendiri-sendiri, mempunyai kebenaran sendiri-sendiri. Di situ
berlangsung hubungan-hubungan konfliktual, dan benturan tak terhindarkan,
terutama ketika kesadaran akan peradaban masing-masing sebagai identitas
menguat.
Era Pasca Perang Dingin dan
Globalisasi: Perlunya Dialog antar Agama dan antar Peradaban
Kebutuhan subjektif untuk mengidentifikasi diri ini muncul, terutama karena
intensitas hubungan antar peradaban semakin tinggi mengingat semakin
mengecilnya dunia akibat dari kemajuan transportasi dan telekomunikasi global.
Gesekan antar peradaban yang berbeda-beda ini memunculkan suatu kebutuhan
subjektif untuk mendefinisikan atau mengidentifikasi diri. Globalisasi menguat,
tetapi bersamaan dengan itu kebutuhan akan kejelasan identitas diri juga
meningkat. Identifikasi dan definisi diri ini dapat dipenuhi dengan kembali
merujuk pada referensi-referensi yang dimiliki seseorang, yang tidak lain dari
kebudayaan atau perdaban mereka masing-masing. Dari peradaban itulah seseorang
dapat mengenali, membedakan, dan menyamakan dirinya dengan yang lain. Dengan
kata lain, sebagaimana dinyatakan Nurcholish Madjid, Dalam era globalisasi,
yang berkat teknologi dan transportasi membuat umat manusia hidup dalam sebuah
“desa buwana†(global village), manusia akan semakin intim dan mendalam
mengenal satu sama lain, tetapi sekaligus juga lebih mudah terbawa kepada
penghadapan dan konfrontasi langsung satu sama lain.[25] Karena itulah,
menurutnya, sangat diperlukan sikap-sikap saling pengertian, dengan kemungkinan
mencari dan menemukan titik kesamaan satu sama lain, bukan titik perbedaan.
Dalam kerangka inilah dialog antar peradaban menjadi sangat penting untuk
dilakukan. Dengan dialog antar peradaban yang bersifat inklusif dan take and
give (saling memberi dan menerima) antara berbagai peradaban, maka akan
menguntungkan semua pihak, dan benturan, atau bahkan konflik, antar peradaban
dapat diredam. Lebih-lebih untuk
menghadapi berbagai kemungkinan perubahan yang lebih dahsyat di masa yang akan
datang, dialog antar peradaban, dan dengan demikian juga dialog antar agama,
perlu lebih dikedepankan dari pada melakukan klaim kebenaran “tunggalâ€
peradaban dan atau agama yang ada dengan implikasi ketertutupan dan
eksklusivitas, yang pada gilirannya akan melahirkan benturan dan konflik antar
peradaban dan atau agama.[26]
Sehubungan dengan hal ini, apa yang telah dilakukan Dewan Parlemen Agama-agama
Dunia (Parliament of World’s Religions) dalam pertemuannya di Chicago pada
tanggal 28 Agustus sampai 4 September 1993 dengan mengeluarkan sebuah
deklarasi, Declaration Toward a Global Ethic (Deklarasi Menuju Etika Global)
dapat dijadikan contoh bagi sebuah upaya dialog antar peradaban dan agama dalam
rangka mencari solusi terhadap bedrbagai persoalan global umat manusia.
Deklarasi ini bertolak dari asumsi tentang dunia dan agama-agama yang sudah
berubah. Dunia telah menjadi satu, menjadi dunia yang polisentris,
multi-kultural dan multi-religius. Dalam konteks kehidupan dunia semacam ini
maka satu-satunya jalan bagi hubungan antar agama adalah “persaudaraan
antar-agamaâ€. Agama-agama yang memiliki nilai-nilai etik yang tinggi harus
secara bersama-sama melibatkan diri dalam dialog tentang berbagai persoalan
kritis kehidupan dan nasib umat manusia di masa depan.[27] Nilai-nilai etik
yang bersumber dari agama-agama itulah yang dijadikan sebagai dasar etika
global, yakni sebuah konsensus fundamental minimum berkaitan dengan nilai-nilai
yang mengikat, standar-standar yang tidak bisa diganggu gugat, dan sikap moral
fundamental.[28] Etika global sebagai konsensus bersama
antar umat beragama ini harus dipandang sebagai langkah yang kooperatif dan
kritis untuk merumuskan tanggung jawab global (global responsibility).[29]
Dewan Parlemen Agama-agama Dunia meyakini, bahwa nilai-nilai etik yang terdapat
dalam agama-agama dapat digunakan untuk mengatasi krisis global yang melanda
dunia dan mengancam masa depan umat manusia. Tentu saja nilai-nilai etik
tersebut tidak dapat memberikan solusi langsung terhadap semua persoalan dunia
yang begitu kompleks, namun nilai-nilai itu dapat memberikan dasar moral bagi
tatanan individu maupun global yang lebih baik.[30] Itulah sebabnya Dewan
Parlemen Agama-agama Dunia dengan tegas menandaskan, bahwa “Tidak akan ada
tatanan global yang lebih baik tanpa etika globalâ€.[31]
Yang kemudian menjadi persoalan adalah: apakah deklarasi itu memiliki prospek
untuk diwujudkan? Jawaban pasti dari persoalan ini tentu tidak seorang pun
tahu. Jelas bahwa sekarang ini etika global sudah menjadi istilah programatik.
Akan tetapi jelas juga bahwa Deklarasi Menuju Etika Global belumlah menjadi
realisasi dari etika global. Deklarasi semacam itu bukan marupakan tujuan. Ia
hanya bisa menjadi alat untuk sebuah tujuan; dan apa pun yang terlahir darinya
akan sangat bergantung pada semua orang,[32] Dalam kerangka inilah para sarjana
dari berbagai agama dituntut untuk menindaklanjuti deklarasi tersebut dengan
menyusun proyek etika global yang dilihat dari agama-agama mereka sendiri,
dengan menekankan pada tiga hal berikut: pertama, sekuat apa deklarasi itu
berakar dalam tradisi mereka sendiri; kedua, sejauh mana tradisi mereka
berhubungan dengan tradisi etik lain; dan ketiga, sejauh mana tradisi mereka
memberi kontribusi terhadap etika global.[33]
Apabila dialog antar agama dan antar peradaban dapat lebih dikedepankan,
maka kita dapat berharap, hipotesis Huntington tidak akan terbukti. Harapan
akan terbentuknya tatanan dunia baru era Pasca Perang Dingin dan Globalisasi
pada abad ke-21 ini akan terwujud. Akan tetapi bila yang terjadi sebaliknya,
maka hipotesis Huntington besar kemungkinan akan terbukti, dan terjadilah
benturan antar peradaban, sebagai kelangsungan konflik dunia yang telah terjadi
sebelumnya. Bahkan pandangan Kaplan, sebagaimana dikutip Djoko Suryo, yang
meramalkan bahawa yang akan muncul pada abad ke-21 bukanlah tatanan dunia baru
yang aman, damai, dan harmonis, melainkan hadirnya sebuah Dunia yang penuh
anarkhi (the Coming of Anarchy), yaitu dunia yang terpecah-pecah dalam
kesatuan-kesatuan kebudayaan kecil; demikian pula pandangan Entzensberger yang
meramalkan bahwa dunia Pasca Perang Dingin bukannya akan menghadapi periode
yang damai dan tentram, melainkan periode anomic violence (kekerasan yang
ganjil) yang ditandai dengan munculnya konflik antara kelompok-kelompok
masyarakat kecil yang tidak terorganisasi dan tidak jelas permasalahannya,[34]
besar kemungkinan akan terwujud.
Penutup
Pembicaraan tentang era Pasca Perang Dingin dan era Globalisasi, yakni era abad
ke 21, adalah pembicaraan tentang masa yang baru saja mulai kita lalui sekarang
dan masa yang akan datang. Dengan demikian sifatnya hipotetis, bisa terbukti
benar atau sebaliknya. Disini sesungguhnya kita memasuki suatu persoalan yang
menentukan dalam ramalan. Manakah yang lebih penting, kebenaran ramalan atau
kekuatan antisipasi? Bilamana seluruh kecenderungan di dalam ramalan diusahakan
dan dijalankan, maka ramalan itu akan terbukti. Ramalan menjadi hampir sama
dengan perintah. Inilah yang dimaksudkan, bahwa ramalan mengandung asas self-fulfilling,
yaitu bahwa yang tadinya tidak ada, tidak mungkin ada, tetapi karena sudah
diramalkan maka ada usaha besar-besaran untuk memenuhi apa yang sudah
diramalkan. Di pihak lain ramalan bisa juga berarti larangan, yang pada
prinsipnya tidak berbeda dari perintah, dengan konsekwensi terbalik. Karena
sudah diramalkan, maka ada usaha besar-besaran untuk menghindari apa yang sudah
diramalkan, dan ramalan tidak akan terbukti. Inilah yang dimasudkan dengan asas
lain dari ramalan, yakni asas self-defeating dalam setiap ramalan. Ramalan
tidak terbukti justeru karena sudah diramalkan.[35]
Dengan demikian, hipotesis Huntington yang menyatakan bahwa era Pasca Perang
Dingin dan Globalisasi akan terjadi benturan antar peradaban, khususnya antara
peradaban Barat dan Islam, yang merupakan kelanjutan dari konflik dunia yang
telah terjadi sebelumnya, bisa terbukti benar dan bisa sebaliknya terbukti
salah. Kesemuanya tergantung dari antisipasi yang dilakukan umat manusia abad
ke-21 sebagai pelaku sejarah. Apakah akan lebih menekankan pada inklusivitas
dan mengedepankan dialog antar agama dan peradaban, ataukah lebih menekankan
pada ekslusivitas dan mengedepankan klaim kebenaran tunggal agama dan
peradaban. Apabila yang menjadi pilihan adalah yang pertama, kita dapat
berharap hipotesis Huntington –demikian pula ramalan Kaplan dan
Entzensberger— tidak akan terbukti. Sebaliknya, apabila yang menjadi pilihan
adalah yang disebut terakhir, maka kita sangat khawatir hipotesis itu akan
terbukti. Mudah-mudahan yang pertamalah yang menjadi pilihan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M Amin. Falsafah kalam di
Era Postmodernisme Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
_______. Studi Agama: Normativitas
atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Ahmed, Akbar S.. Posmodernisme:
Bahaya dan Harapan bagi Islam (Postmodern and Islam: Predicament and Promise)
terj. M. Sirozi, Bandung: Mizan, 1993.
_______ dan Hastings Donnan.
“Islam in the Age of Postmodernity†dalam Akbar S. Ahmed dan Hastings
Donnan (ed.). Islam, Globalization and Postmodernity, London: Routledge, 1994.
Anwar, Dewi Fortuna. “Merosotnya
Barat dan Kerisauan Huntington†dalam Ulumul Qur’an, Nomor 5, Vol. IV, Th.
1993, hal. 26-31
Boulalata, Issa J.. “Hassan
Hanafi†dalam John L. Esposito (ed.). The Oxford Encyclopedia of the Modern
Islamic World, Vol. 2, Oxford: Oxford University Press, 1995.
Dhakidae, Daniel. “Anatomi
Ramalan†dalam Prisma, Nomor 1, Januari 1984
Hanafi, Hassan. Muqaddimah fi ‘Ilm
al-Istighrab, Kairo: Darul Faniah, 1991.
_______. “Apa Arti Kiri Islamâ€
dalam Kazuo Shimogaki. Kiri Islam, antara Modernisme dan Post-modernisme Telaah
Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, terj. M. Imam azis dan Jadul Maula,
Yogyakarta: LKIS, 1994.
Hobsbawm, Eric. The Age of Extremes:
A History of the World, 1914-1991, New York: Vintage Books, 1996
Huntington, Samuel P..“Benturan
antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?†(Clash of Civilizations?â€)
dalam Ulumul Qur’an, Nomor 5, Vol. IV, Tahun 1993.
Kueng, Hans dan Karl-Josef Kuschel.
Etik Global (A Global Ethic: The Declaration of the Parliament of the World’s
Religions), terj. Ahmad Murtajib, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Madjid, Nurcholish. “Beberapa
Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang†dalam Ulumul Qur’an,
Nomor I, Vol. IV, Tahun 1993.
Muzani, Saiful. “Benturan
Islam-Barat, suatu Proyek di Zaman Pasca-Modern?†dalam Ulumul Qur’an,
Nomor 5, Vol. IV, Th. 1993.
Niam, Khoirun . “Etika Global dan
Dialog Antaragama†dalam Kompas, Jumat, 9 Juni 2000.
Rahim, Dimas N. dan Airlangga P.
Kusman, “Islam dan Wacana Modernitas†dalam Republika, Jum’at 11 Juli
1997.
Rahman, Fazlur. Islam, Second
Edition, Chicago: University of Chicago Press, 1979.
Robertson, Roland. Globalization:
Social Theory and Global Culture London: Sage Pub