Jumat, 24 Juli 2015



Islam dan Barat di era pasca perang dingin dan Globalisasi: Konflik atau damai?
PDF| Print| E-mail

Oleh: Sholihan  ( di copy oleh muh nur)
Pendahuluan
               Dalam sejarahnya yang panjang, yakni kurang lebih selama empat belas abad, Islam memiliki sejarah yang panjang pula pertemuannya dengan Barat. Pertemuan antara Islam dengan Barat yang telah berlangsung selama berabad-abad dan sampai sekarang masih berlangsung itu diwarnai dengan rivalitas,[1] kerjasama dan juga konflik.[2]
               Seacara historis, peradaban Barat muncul lebih dahulu, baru kemudian disusul oleh munculnya Islam. Dalam perjalanan sejarah berikutnya, perkembangan Islam yang baru lahir lebih cepat, bahkan sampai dapat merontokkan Romawi dan Persi yang telah berjaya sebelumnya. Setelah tujuh abad perkembangan Islam, Barat tidak mau kalah. Runtuhnya kerajaan Islam Spanyol merupakan momentum dimulainya babak rivalitas baru, yang kermudian disusul dengan era imperialisme-kolonialisme dunia Barat atas Dunia Islam. Era imperialisme-kolonialisme ini berjalan hampir empat atau lima abad, dan ini merupakan simbol kemenangan Barat atas Islam sebagai komunitas sosial politik.[3] Karena itulah, sebagaimana dinyatakan Rahman, bagi banyak pengamat, sejarah Islam di masa modern pada itinya adalah pengaruh Barat terhadap masyarakat Islam.[4]
               Memang semenjak pecahnya Perang Dunia II menjelang paroh kedua abad ke-20 Dunia Islam mulai melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan Barat dan menjadi negara-negara merdeka. Akan tetapi, dalam banyak hal Dunia Islam masih tergantung kepada Barat. Dana pembangunan, peralatan militer, tenaga konsultan dalam berbagai bidang, dan hasil industri berat, hampir semua negara Islam masih tergantung pada Barat. Ketergantungan Dunia Islam pada khususnya dan Dunia Ketiga pada umumnya kepada Barat ini tidak lain adalah imperialisme-kolonialisme dalam bentuknya yang baru.[5] Dengan kata lain dapat dinyatakan, meskipun Dunia Islam telah melepaskan diri dari imperialisme-kolonialisme Barat dan menjadi negera-negera merdeka sudah kurang lebih setengah abad, namun dalam kenyataannya Dunia Islam masih berada dalam pengaruh dominasi Barat.
               Meskipun realitas sekarang menunjukkan, bahwa Dunia Islam masih berada dalam pengaruh dominasi Barat, namun bukan berarti Dunia Islam tidak punya kekuatan sama sekali. Samuel P. Huntington misalnya, dalam tulisannya “Clash of Civilizations?”,[6] menilai Dunia Islam, bersama-sama dengan Konfusionisme, mempunyai kekuatan cukup signifikan, dan semenjak berakhirnya Perang Dingin, akan menjadi ancaman terbesar bagi dominasi Barat selama ini.
               Hipotesis Huntington itu memang terkesan provokatif, sehingga menimbulkan kontroversi dan polemik.[7] Alasan kulturalnya tidak begitu jelas, bagaimana peradaban Islam dan Kunfusius dapat berkolusi dan kemudian berhadapan dengan peradaban Barat. Kecuali alasan ekonomi dan perdagangan, nampaknya tidak terdapat alasan yang signifikan yang menentukan kemungkinan kolusi antara negara-negara yang berperadaban Islam dan negara-negara yang berperadaban Konfusius. Akan tetapi ketika Huntington memandang peradaban Islam sebagai ancaman bagi peradaban Barat, ini kemungkinan ada benarnya, setidak-tidaknya ada kelompok-kelompok atau individu-individu pada dua peradaban ini yang memandang keduanya saling mengancam. Terlalu banyak pandangan, dari yang populer sampai yang akademis, yang disosialisasikan dalam buku-buku, koran-koran, majalah-majalah, dan media elektronik, yang menunjukkan saling ancam antar kedua peradaban ini. Sudah banyak karya jurnalistik dan akademik Barat yang memberikan citra tentang Islam sebagai satu ancaman bagi Barat, dan mencoba menggambarkan Islam sesuai dengan perspektif budaya dan peradaban Barat sendiri.
               Makalah ini akan mengkaji hubungan peradaban Barat dan Islam khususnya, dan dengan peradaban-peradaban lain pada umumnya dalam era Pasca Perang Dingin dan Globalisasi. Apakah memang harus saling mengancam sehingga menimbulkan benturan peradaban yang lebih bernuansa konflik dan kekerasan, ataukah ada format hubungan lain yang lebih bernuansa dialogis dan kedamaian? Namun sebelum sampai pada persoalan pokok akan dibahas terlebih dahulu Era Pasca Perang Dingin dan Globalisasi itu sendiri.
Era Pasca Perang Dingin dan Globalisasi: Kecenderungan Umum
               Perjalanan sejarah umat manusia nampaknya selalu diwarnai oleh konflik dan peperangan. Dalam abad ke dua puluh yang baru berlalu saja, sejarah telah mencatat tiga peristiwa peperangan besar, yakni Perang Dunia I (1914-1918), Perang Dunia II (1939-1945), dan Perang Dingin (1950-1990). Yang disebut terakhir, yakni Perang Dingin (Cold War) terjadi akibat terbentuknya tatanan politik baru yang bersifat bipolar , yang memusat pada dua blok ideologi yang bermusuhan, yaitu antara blok Barat yang kapitalis demokratis dengan blok Timur yang komunis. Blok pertama dikuasai oleh negara adikuasa Amerika Serikat dan Blok kedua dikuasai oleh negara adikuasa lainnya, Uni Sovyet. Kedua negara adikuasa tersebut bersaing untuk memperoleh pengaruh di negara-negara Dunia Ketiga atau Negara Berkembang.[8]
               Dampak permusuhan kedua negara adikuasa tersebut dengan demikian juga terasa di negara-negara Dunia Ketiga dan Non-Blok, termasuk Indonesia. Perang Korea (1950-1953), Perang Vietnam (1957-1975), dan juga Perang Arab Israel (1967, 1973, 1982) adalah benar-benar merupakan perwujudan dari aktualisasi Perang Dingin, yakni perang perebutan pengaruh antara kedua blok negara adikuasa, Amerika Serikat dan Uni Sovyet.
               Perang Dingin yang berlangsung dari sejak tahun 1950 itu berakhir pada tahun1990, yang ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin, simbol keruntuhan komunisme dan kemenangan kapitalisme.[9] Masa sesudah berakhirnya Perang Dingin inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Era Pasca Perang Dingin, di mana terjadi perubahan-perubahan besar baik dalam tatanan politik dunia maupun tatanan ekonomi, masyarakat dan kebudayaan. Tatanan politik bergeser dari bipolar ke multipolar, diikuti dengan pembentukan hubungan ekonomi baru yang bersifat global. Liberalisasi perdagangan dan zona kerjasama regional seperti tercermin dalam APEC (Asian Pacific Economic Cooperation), dan NAFTA (North American Free Trade Agreement) serta organisasi regional lainnya, merupakan kecenderungan baru yang menandai perjalanan menuju akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Lahirnya tatanan baru yang bersifat global dengan segala kecenderungannya tersebut oleh para ahli dipandang sejajar dengan terjadinya lompatan-lompatan perubahan masyarakat menuju ke pembentukan masyarakat Pasca Industri dan Masyarakat Global (abad informasi).[10] Dengan demikian Era Pasca Perang Dingin ini kemunculannnya dalam sejarah kurang lebih berbarengan dengan Era Globalisasi.
               Proses Globalisasi muncul akibat desakan-desakan arus perkembangan sejarah kemanusiaan kontemporer di mana batas-batas konvensional-tradisional baik secara politik, geografis, regional, maupun bahasa telah bergeser. Demikian pula batas-batas tradisional seperti suku, ras, dan agama menjadi semakin transparan ketidakkokohannya. Batas-batas atau sekat-sekat tradisional itu tetap masih bertahan, namun muatan maknanya sudah bergeser dari pola makna yang lama ke arah pola makna yang baru. Perubahan makna tersebut dimungkinkan lantaran munculnya gelombang kesadaran baru yang diciptakan akal pikiran manusia dengan apa yang oleh Tofler disebut sebagai “revolusi komunikasi” setelah manusia melampaui dua tahapan revolusi sebelumnya, yakni “revolusi pertanian” dan “revolusi industri”.[11]    
Sebagai suatu konsep, globalisasi merujuk pada pemampatan (compression) dunia dan intensifikasi kesadaran dunia secara menyeluruh.[12] Globalisasi pada prinsipnya merujuk pada perkembangan secara cepat dalam teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang menjadikan dunia yang sangat jauh dengan mudah dapat dicapai.[13] Sebagai contoh, jika suatu perkembangan terjadi di New York , maka perkembangan itu langsung dapat disiarkan ke seluruh dunia. Salah satu contoh yang baik dari proses globalisasi ini adalah kontroversi berkait dengan Salman Rushdi yang dimulai pada akhir tahun 1980-an di Inggris karena penerbitan The Satanic Verses. Dalam berapa jam, perkembangan yang terjadi di Inggris itu memunculkan respon di Islamabad dan Bombay. Orang mati-matian memprotes buku itu. Berbagai pernyataan pemerintah, obrolan di media, editorial, sikap siaga dan protes merefleksikan hangatnya perdebatan itu. Dalam sejarah belum pernah terjadi perkembangan dengan kecepatan dan cara semacam itu.[14]
               Proses globalisasi saat ini juga ditandai oleh terjadinya percepatan pertukaran informasi dan budaya serta oleh tingginya skala dan kompleksitas pertukaran ini. Dengan difasilitasi oleh teknologi baru, kecepatannya yang luar biasa, batasan serta volume pertukaran ini telah membangkitkan imajinasi orang pada umumnya. Teknologi yang demikian mengesankan, dari electronic mail sampai satelite dish, dan walaupun teknologi ini tidak dapat diterima oleh semua orang, namun teknologi ini baik secara langsung maupun tidak ikut bertanggung jawab terhadap pengaruh-pengaruh baru yang dialami oleh manusia. Teknologi semacam ini mampu memisahkan budaya dari basis wilayahnya sehingga dengan sendirinya menggetarkan gelombang udara hingga mencapai pihak yang menerimanya.
               Apapun hasil akhirnya –homogenitas yang lebih besar atau heterogenitas budaya-- dan ini yang banyak diperdebatkan, era globalisasi saat ini telah mengakibatkan semakin banyaknya orang dibandingkan era sebelumnya yang terlibat dalam lebih dari satu kebudayaan.[15]
Era Pasca Perang Dingin dan Globalisasi: Benturan antara Peradaban Barat dan Islam?
               Benturan antar peradaban dalam hampir satu dasa warsa terakhir ini menjadi topik pembicaraan yang hangat, setidak-tidaknya di kalangan intelektual, ilmuawan, dan pengamat, terutama pengamat politik dan kebudayaan global. Hangatnya pembicaraan mengenai benturan antar peradaban mula-mula dipicu oleh tulisan Huntington, “Clash of Civilizations?”.[16] Karena Perang Dingin telah berlalu dengan runtuhnya ideologi komunisme/sosialisme dan yang tinggal kemudian hanyalah kekuatan raksasa tunggal ideologi kapitalisme Amerika Serikat dan sekutunya, maka menurut Huntington, sumber fundamental dari konflik dalam dunia baru, era Pasca Perang Dingin dan Globalisasi, pada dasarnya tidak lagi ideologi atau ekonomi melainkan budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik yang dominan. Negara bangsa tetap akan menjadi aktor yang paling kuat dalam percaturan dunia, tetapi konflik politijk global yang paling prinsipil akan terjadi antara bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok karena perbedaan peradaban mereka. Pertentangan antar peradaban akan mendominasi politik global. Garis-garis pemisah antara peradaban akan menjadi garis-garis pertentangan di masa depan.[17]
               Ada enam alasan pokok yang dikemukakan Huntington untuk mendukung hipotesisnya, mengapa benturan peradaban akan menjadi sumber konflik utama di era Pasca Perang Dingin. Pertama, adalah kenyataan bahwa perbedaan antar peradaban tidak hanya riil, tapi juga mendasar. Selama berabad-abad perbedaan antar peradaban telah menimbulkan konflik yang paling keras dan paling lama. Kedua, adalah kenyataan bahwa dunia kini sudah semakin menyempit sehingga interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Hal ini selain melahirkan rasa kesamaan juga mempertajam rasa perbedaan antar peradaban. Ketiga, adalah proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial dunia yang telah membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal dan memperlemah negara bangsa sebagai sumber identitas mereka. Dalam hal ini agama muncul sebagai sumber identitas dan pegangan, dan sering dalam bentuk gerakan “fundamentalis”. Keempat, adalah peranan Barat yang begitu dominan. Dominasi Barat yang sekarang berada di puncak kekuatan menimbulkan reaksi dunia non-Barat dengan munculnya gerakan dewesternisasi dan indegenisasi. Kelima, adalah kenyataan bahwa karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu, dan karena itu kurang bisa kompromi, dibanding perbedaan politik dan ekonomi. Keenam, adalah kesadaran peradaban bukanlah merupakan raison d’etre utama terbentuknya suatu regionalisme politik atau ekonomi.[18]
               Lebih lanjut Huntington mengemukakan, ada tujuh atau delapan peradaban yang saling bersaing, yaitu peradaban Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Ortodoks Slavia, Amerika Latin, dan mungkin juga Afrika. Karena Barat sekarang berada pada puncak kekuatan yang luar biasa dalam hubungannya dengan peradaban-peradaban lain, maka poros utama politik dunia yang akan datang adalah konflik antara “Barat dan Selainnya” dan respons peradaban-peradaban non-Barat atas kekuatan dan nilai-nilai Barat. Menurut Huntington, di antara peradaban-peradaban non Barat yang berbenturan dengan Barat dalam tingkat yang paling tinggi adalah kolusi peradaban Islam-Konfusius.
               Hipotesis Huntington yang menyatakan bahwa benturan paling keras akan terjadi antara peradaban Barat dengan kolusi peradaban Islam-Konfusius ini patut dipertanyakan, karena alasan kulturalnya tidak begitu jelas. Kecuali alasan ekonomi dan perdagangan, nampaknya tidak ada alasan kultural yang signifikan yang menentukan kemungkinan kolusi antara negara-negara yang berperadaban Islam dengan negara-negara yang berperadaban Konfusius.[19] Akan tetapi, ketika Huntington memandang peradaban Islam sebagai peradaban yamg berbenturan paling keras dengan peradaban barat, dan sekaligus merupakan ancaman terbesar bagi peradaban Barat, ini kemungkinan ada benarnya. Hal ini antara lain disebabkan oleh jangkauan universal budaya Barat yang Kristen dan Islam, serta kenyataan bahwa Kristen dan Islam merupakan agama yang “strict”.[20] Di samping itu, setidak-tidaknya ada kelompok-kelompok atau individu-individu pada dua peradaban ini yang memandang keduanya berbenturan dan saling mengancam.
               Banyak karya jurnalistik dan akademik Barat yang memberikan citra tentang Islam sebagai ancaman bagi Barat, dan mencoba menggambarkan Islam sesuai dengan perspektif budaya dan peradaban Barat sendiri. Sebagai contoh, selain tulisan Huntington sendiri, tulisan Judith Miller dalam majalah Foreign Affairs, Musim Semi 1993, yang berjudul “The Challenge of Radical Islam” sangat jelas menunjukkan hal itu. Penafsiran dan penggambaran tentang Islam seperti itu di kalangan intelektual, akademisi, jurnalis, atau politisi tertentu di dunia Barat bukanlah hal baru; dan kecenderungannya semakin menguat ketika masyarakat Muslim pada tingkat internasional tampak semakin bangkit hendak menyatakan identitas diri mereka.[21]
               Demikian juga di kalangan intelektual dunia Islam, terdapat pandangan yang kurang lebih sama dengan hipotesis Huntington, yakni benturan antara peradaban Barat dengan Islam. Jauh sebelum Huntington menulis artikelnya itu, tokoh-tokoh intelektual Islam seperti Mariam Jamilah, Ali Shari’ati, Ismail al-Faruqi, Syed Naquib al-Attas, Syed Hossein Nasr, Ziauddin Sardar, Akbar S. Ahmed, dan Hassan Hanafi, dengan, tentu saja, latar belakang, kecenderungan pemikiran, analisis, dan argumen yang berbeda-beda, telah menulis topik-topik terkait. Hassan Hanafi misalnya, dengan penguasaannya terhadap sejarah peradaban Barat, menggagas sebuah ilmu yang disebutnya “Oksidentalisme” sebagai lawan dari “Orientalisme”. Dalam bukunya Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab, Hanafi menegaskan tugas Oksidentalisme yang paling utama adalah menghapuskan doktrin Eurosentrisme, yaitu dengan mengembalikan peradaban Barat ke dalam batas-batas alamiahnya, menjelasakan proporsinya, asal-usulnya, kesesuaiannya dengan situasi kesejarahan tertentu, jenis religiusitas dan karakteristik masyaraktnya sehingga dapat dihadapkan pada peradaban non-Eropa, untuk memperlihatkan bahwa terdapat banyak model peradaban dan banyak jalan menuju kemajuan.[22] Analisis Hanafi terhadap peradaban Barat dari mulai munculnya hingga dewasa ini, sebagaimana disebutkan Boullata, membawanya pada kesimpulan, bahwa peradaban Barat dewasa ini berada dalam keadaan krisis, sementara peradaban Islam sedang muncul untuk mengambil tempatnya yang sah dalam kepemimpinan dunia, apabila diorientasikan secara tepat.[23]
               Intelektual muslim lain yang banyak mencurahkan perhatiannya pada topik benturan antara peradaban Islam dan Barat adalah Akbar S. Ahmed, Guru Besar Antropologi di Universitas Cambridge, yang berasal dari Pakistan. Peradaban Islam dan peradaban Barat oleh Ahmed dikonstruksi sebagai dua peradaban yang mengalami benturan, dan dipaparkan dengan kerangka analisis pasaca-modernisme. Ahmed hendak menunjukkan bahwa benturan antara peradaban Islam dan Barat merupakan refleksi dari zaman pasca-modern. Zaman pasca-modern pada tingkat sosiologis, menurut Ahmed, ditandai oleh sejumlah ciri pokok, di antaranya: mempertanyakan, atau bahkan hilang kepercayaan pada proyek modernitas; bersemangat plurarisme; dan menolak dunia sebagai totalitas yang universal. Kalau pasca-modernisme sebagai suatu pemikiran di Barat menggugat pada proyek modernitas, maka bagi Islam pasca-modernisme juga berarti menggugat proyek modernisme Islam. Dengan demikian pasca-modernisme masyarakat muslim dapat berarti perubahan atau pergeseran ke identitas etnis dan Islam sebagai lawan dari identitas asing yang diimpor atau identitas Barat, dan ini adalah suatu bentuk penolakan terhadap modernitas. Dari situlah zaman pasca-modern Muslim dimulai, dan bagi Ahmed itu adalah kebangkitan Islam, yang oleh pengamat Barat sering disebut sebagai “fundamentalisme Islam”.[24]
Dari situ kemudian Ahmed memaparkan apa yang mirip ditulis Huntington sebagai benturan antara peradaban Islam dan peradaban Barat. Islam dan Barat dipandang sebagai dua entitas peradaban yang berbeda. Keduanya merupakan sistem kehidupan yang mempunyai standar dan mekanisme hidup sendiri-sendiri, mempunyai kebenaran sendiri-sendiri. Di situ berlangsung hubungan-hubungan konfliktual, dan benturan tak terhindarkan, terutama ketika kesadaran akan peradaban masing-masing sebagai identitas menguat.
Era Pasca Perang Dingin dan Globalisasi: Perlunya Dialog antar Agama dan antar Peradaban
               Kebutuhan subjektif untuk mengidentifikasi diri ini muncul, terutama karena intensitas hubungan antar peradaban semakin tinggi mengingat semakin mengecilnya dunia akibat dari kemajuan transportasi dan telekomunikasi global. Gesekan antar peradaban yang berbeda-beda ini memunculkan suatu kebutuhan subjektif untuk mendefinisikan atau mengidentifikasi diri. Globalisasi menguat, tetapi bersamaan dengan itu kebutuhan akan kejelasan identitas diri juga meningkat. Identifikasi dan definisi diri ini dapat dipenuhi dengan kembali merujuk pada referensi-referensi yang dimiliki seseorang, yang tidak lain dari kebudayaan atau perdaban mereka masing-masing. Dari peradaban itulah seseorang dapat mengenali, membedakan, dan menyamakan dirinya dengan yang lain. Dengan kata lain, sebagaimana dinyatakan Nurcholish Madjid, Dalam era globalisasi, yang berkat teknologi dan transportasi membuat umat manusia hidup dalam sebuah “desa buwana” (global village), manusia akan semakin intim dan mendalam mengenal satu sama lain, tetapi sekaligus juga lebih mudah terbawa kepada penghadapan dan konfrontasi langsung satu sama lain.[25] Karena itulah, menurutnya, sangat diperlukan sikap-sikap saling pengertian, dengan kemungkinan mencari dan menemukan titik kesamaan satu sama lain, bukan titik perbedaan.
               Dalam kerangka inilah dialog antar peradaban menjadi sangat penting untuk dilakukan. Dengan dialog antar peradaban yang bersifat inklusif dan take and give (saling memberi dan menerima) antara berbagai peradaban, maka akan menguntungkan semua pihak, dan benturan, atau bahkan konflik, antar peradaban
dapat diredam. Lebih-lebih untuk menghadapi berbagai kemungkinan perubahan yang lebih dahsyat di masa yang akan datang, dialog antar peradaban, dan dengan demikian juga dialog antar agama, perlu lebih dikedepankan dari pada melakukan klaim kebenaran “tunggal” peradaban dan atau agama yang ada dengan implikasi ketertutupan dan eksklusivitas, yang pada gilirannya akan melahirkan benturan dan konflik antar peradaban dan atau agama.[26]
               Sehubungan dengan hal ini, apa yang telah dilakukan Dewan Parlemen Agama-agama Dunia (Parliament of World’s Religions) dalam pertemuannya di Chicago pada tanggal 28 Agustus sampai 4 September 1993 dengan mengeluarkan sebuah deklarasi, Declaration Toward a Global Ethic (Deklarasi Menuju Etika Global) dapat dijadikan contoh bagi sebuah upaya dialog antar peradaban dan agama dalam rangka mencari solusi terhadap bedrbagai persoalan global umat manusia. Deklarasi ini bertolak dari asumsi tentang dunia dan agama-agama yang sudah berubah. Dunia telah menjadi satu, menjadi dunia yang polisentris, multi-kultural dan multi-religius. Dalam konteks kehidupan dunia semacam ini maka satu-satunya jalan bagi hubungan antar agama adalah “persaudaraan antar-agama”. Agama-agama yang memiliki nilai-nilai etik yang tinggi harus secara bersama-sama melibatkan diri dalam dialog tentang berbagai persoalan kritis kehidupan dan nasib umat manusia di masa depan.[27] Nilai-nilai etik yang bersumber dari agama-agama itulah yang dijadikan sebagai dasar etika global, yakni sebuah konsensus fundamental minimum berkaitan dengan nilai-nilai yang mengikat, standar-standar yang tidak bisa diganggu gugat, dan sikap moral fundamental.[28]     Etika global sebagai konsensus bersama antar umat beragama ini harus dipandang sebagai langkah yang kooperatif dan kritis untuk merumuskan tanggung jawab global (global responsibility).[29]
               Dewan Parlemen Agama-agama Dunia meyakini, bahwa nilai-nilai etik yang terdapat dalam agama-agama dapat digunakan untuk mengatasi krisis global yang melanda dunia dan mengancam masa depan umat manusia. Tentu saja nilai-nilai etik tersebut tidak dapat memberikan solusi langsung terhadap semua persoalan dunia yang begitu kompleks, namun nilai-nilai itu dapat memberikan dasar moral bagi tatanan individu maupun global yang lebih baik.[30] Itulah sebabnya Dewan Parlemen Agama-agama Dunia dengan tegas menandaskan, bahwa “Tidak akan ada tatanan global yang lebih baik tanpa etika global”.[31]
               Yang kemudian menjadi persoalan adalah: apakah deklarasi itu memiliki prospek untuk diwujudkan? Jawaban pasti dari persoalan ini tentu tidak seorang pun tahu. Jelas bahwa sekarang ini etika global sudah menjadi istilah programatik. Akan tetapi jelas juga bahwa Deklarasi Menuju Etika Global belumlah menjadi realisasi dari etika global. Deklarasi semacam itu bukan marupakan tujuan. Ia hanya bisa menjadi alat untuk sebuah tujuan; dan apa pun yang terlahir darinya akan sangat bergantung pada semua orang,[32] Dalam kerangka inilah para sarjana dari berbagai agama dituntut untuk menindaklanjuti deklarasi tersebut dengan menyusun proyek etika global yang dilihat dari agama-agama mereka sendiri, dengan menekankan pada tiga hal berikut: pertama, sekuat apa deklarasi itu berakar dalam tradisi mereka sendiri; kedua, sejauh mana tradisi mereka berhubungan dengan tradisi etik lain; dan ketiga, sejauh mana tradisi mereka memberi kontribusi terhadap etika global.[33]
              Apabila dialog antar agama dan antar peradaban dapat lebih dikedepankan, maka kita dapat berharap, hipotesis Huntington tidak akan terbukti. Harapan akan terbentuknya tatanan dunia baru era Pasca Perang Dingin dan Globalisasi pada abad ke-21 ini akan terwujud. Akan tetapi bila yang terjadi sebaliknya, maka hipotesis Huntington besar kemungkinan akan terbukti, dan terjadilah benturan antar peradaban, sebagai kelangsungan konflik dunia yang telah terjadi sebelumnya. Bahkan pandangan Kaplan, sebagaimana dikutip Djoko Suryo, yang meramalkan bahawa yang akan muncul pada abad ke-21 bukanlah tatanan dunia baru yang aman, damai, dan harmonis, melainkan hadirnya sebuah Dunia yang penuh anarkhi (the Coming of Anarchy), yaitu dunia yang terpecah-pecah dalam kesatuan-kesatuan kebudayaan kecil; demikian pula pandangan Entzensberger yang meramalkan bahwa dunia Pasca Perang Dingin bukannya akan menghadapi periode yang damai dan tentram, melainkan periode anomic violence (kekerasan yang ganjil) yang ditandai dengan munculnya konflik antara kelompok-kelompok masyarakat kecil yang tidak terorganisasi dan tidak jelas permasalahannya,[34] besar kemungkinan akan terwujud.
Penutup                              
               Pembicaraan tentang era Pasca Perang Dingin dan era Globalisasi, yakni era abad ke 21, adalah pembicaraan tentang masa yang baru saja mulai kita lalui sekarang dan masa yang akan datang. Dengan demikian sifatnya hipotetis, bisa terbukti benar atau sebaliknya. Disini sesungguhnya kita memasuki suatu persoalan yang menentukan dalam ramalan. Manakah yang lebih penting, kebenaran ramalan atau kekuatan antisipasi? Bilamana seluruh kecenderungan di dalam ramalan diusahakan dan dijalankan, maka ramalan itu akan terbukti. Ramalan menjadi hampir sama dengan perintah. Inilah yang dimaksudkan, bahwa ramalan mengandung asas self-fulfilling, yaitu bahwa yang tadinya tidak ada, tidak mungkin ada, tetapi karena sudah diramalkan maka ada usaha besar-besaran untuk memenuhi apa yang sudah diramalkan. Di pihak lain ramalan bisa juga berarti larangan, yang pada prinsipnya tidak berbeda dari perintah, dengan konsekwensi terbalik. Karena sudah diramalkan, maka ada usaha besar-besaran untuk menghindari apa yang sudah diramalkan, dan ramalan tidak akan terbukti. Inilah yang dimasudkan dengan asas lain dari ramalan, yakni asas self-defeating dalam setiap ramalan. Ramalan tidak terbukti justeru karena sudah diramalkan.[35]
               Dengan demikian, hipotesis Huntington yang menyatakan bahwa era Pasca Perang Dingin dan Globalisasi akan terjadi benturan antar peradaban, khususnya antara peradaban Barat dan Islam, yang merupakan kelanjutan dari konflik dunia yang telah terjadi sebelumnya, bisa terbukti benar dan bisa sebaliknya terbukti salah. Kesemuanya tergantung dari antisipasi yang dilakukan umat manusia abad ke-21 sebagai pelaku sejarah. Apakah akan lebih menekankan pada inklusivitas dan mengedepankan dialog antar agama dan peradaban, ataukah lebih menekankan pada ekslusivitas dan mengedepankan klaim kebenaran tunggal agama dan peradaban. Apabila yang menjadi pilihan adalah yang pertama, kita dapat berharap hipotesis Huntington –demikian pula ramalan Kaplan dan Entzensberger— tidak akan terbukti. Sebaliknya, apabila yang menjadi pilihan adalah yang disebut terakhir, maka kita sangat khawatir hipotesis itu akan terbukti. Mudah-mudahan yang pertamalah yang menjadi pilihan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M Amin. Falsafah kalam di Era Postmodernisme Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
_______. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Ahmed, Akbar S.. Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam (Postmodern and Islam: Predicament and Promise) terj. M. Sirozi, Bandung: Mizan, 1993.
_______ dan Hastings Donnan. “Islam in the Age of Postmodernity” dalam Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan (ed.). Islam, Globalization and Postmodernity, London: Routledge, 1994.
Anwar, Dewi Fortuna. “Merosotnya Barat dan Kerisauan Huntington” dalam Ulumul Qur’an, Nomor 5, Vol. IV, Th. 1993, hal. 26-31
Boulalata, Issa J.. “Hassan Hanafi” dalam John L. Esposito (ed.). The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol. 2, Oxford: Oxford University Press, 1995.
Dhakidae, Daniel. “Anatomi Ramalan” dalam Prisma, Nomor 1, Januari 1984
Hanafi, Hassan. Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab, Kairo: Darul Faniah, 1991.
_______. “Apa Arti Kiri Islam” dalam Kazuo Shimogaki. Kiri Islam, antara Modernisme dan Post-modernisme Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, terj. M. Imam azis dan Jadul Maula, Yogyakarta: LKIS, 1994.
Hobsbawm, Eric. The Age of Extremes: A History of the World, 1914-1991, New York: Vintage Books, 1996
Huntington, Samuel P..“Benturan antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” (Clash of Civilizations?”) dalam Ulumul Qur’an, Nomor 5, Vol. IV, Tahun 1993.
Kueng, Hans dan Karl-Josef Kuschel. Etik Global (A Global Ethic: The Declaration of the Parliament of the World’s Religions), terj. Ahmad Murtajib, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Madjid, Nurcholish. “Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang” dalam Ulumul Qur’an, Nomor I, Vol. IV, Tahun 1993.
Muzani, Saiful. “Benturan Islam-Barat, suatu Proyek di Zaman Pasca-Modern?” dalam Ulumul Qur’an, Nomor 5, Vol. IV, Th. 1993.
Niam, Khoirun . “Etika Global dan Dialog Antaragama” dalam Kompas, Jumat, 9 Juni 2000.
Rahim, Dimas N. dan Airlangga P. Kusman, “Islam dan Wacana Modernitas” dalam Republika, Jum’at 11 Juli 1997.
Rahman, Fazlur. Islam, Second Edition, Chicago: University of Chicago Press, 1979.
Robertson, Roland. Globalization: Social Theory and Global Culture London: Sage Pub